contoh cyber sastra
TAUTOLOGI DAN CELAH-CELAH DI SEKITAR “KATA,WAKTU”
Oleh: Tulus Wijanarko
Hidup ini singkat, sedangkan begitu banyak kesaksian harus disampaikan.
Begitu seorang penulis pernah mengungkapkan alasannya menjadi pengarang.
Itu sebabnya, lebih dari sekedar bukti keterampilan mengolah kata-kata,
karya yang lahir dengan alibi macam itu berpretensi menjadi saksi bagi
zamannya. Dan, dengan demikian selalu pantas untuk disimak.
Kita tak pernah tahu mengapa Goenawan Mohamad (GM) memilih menjadi penulis
untuk mengisi –mungkin sebagian terbesar— dari hidupnya.
Konon, ia mulai menulis sejak berusia 11 tahun. Tetapi, apapun alasan itu,
sepertinya seluruh tulisan GM tak akan pernah menjadi sia-sia. Setidaknya
itu terasakan ketika melihat buku terakhirnya berjudul, “Kata,
Waktu” dengan judul kecil <I>Esai-esai Goenawan Mohamad 1960-2001<I>,
diluncurkan beberapa waktu lalu. Tiga cendekiawan utama Indonesia, yakni
Nurcholis Madjid, Ignas Kleden, dan Ariel Haryanto, yang berbicara dalam
acara peluncuran, adalah semacam paraf dari pernyataan di atas.
Buku “Kata, Waktu” menghimpun sekitar 650 esai pendek GM selama
rentang waktu 40 tahun terakhir. Tentu saja, banyak hal dibicarakan GM
tentang hal-hal (pikiran dan peristiwa) besar ataupun sebaliknya. Tetapi
seperti disepakati banyak kalangan, salah satu perhatian utama GM yang
berpeluang menjadikan buku ini memiliki benang merah, adalah pembelaannya
terhadap keunikan individu atau suatu kaum.
GM tak pernah terkekang oleh bingkai tulisan untuk membisikkan, bergumam,
maupun ketika harus berteriak melawan arus-arus penyeragaman yang datang
dari mana saja (tak hanya dari kekuasaan, tapi juga pikiran-pikiran
kearahnya). “Perlawanan-nya” itu bisa dipungut dari tulisan-
tulisannya yang dibingkai dalam masalah kesastraan, sosial, politik, agama,
atau apapun. Dan, itu sudah dilakukannya sejak lama.
“…<I>Salah satu kebebasan pertama seorang pencipta adalah
kebebasannya dari sikap kolektif yang mengikat diri, dan bahaya orang yang
terlalu memperhatikan “rumus-rumus” umum yang dikenakan di atas
kesadaran keseorangannya ialah terbentuknya diri dalam lindungan
kolektivisme<I>…” (Puisi Yang Berpijak Di Bumi Sendiri, halaman
2). Esai ini ditulisnya pada 27 April 1960.
Pada esai berjudul “O, Absyalom” (tertanggal 11 Oktober 1986)
secara empatik GM menulis pembangkangan diam-diam Putra Mahkota Alexis yang
menolak menjadi seperti apa yang diinginkan Tsar Rusia, Peter yang Agung,
ayahnya sendiri. GM mengulangi kutipan Robert Massie (penulis tentang
Peter) mengenai Alexis: “Sungguh sia-sia ayahnya menyuruhnya mengurus
soal-soal militer, karena lebih enak baginya memegang sebuah tasbih
ketimbang sebuah pistol ditangan”. (halaman 657)
Esai terakhir yang dimuat dalam buku ini (tertanggal 24 Juni 2001) adalah
gumaman GM soal buruh yang tak mungkin dipandang –bahkan—
sebatas sebagai “proletareat” belaka. Buruh, tulisnya, bukanlah
hantu yang membayang-bayangi zaman. Bukan pula dewa yang melintasi waktu.
Untuk memberi garis bawah, GM mengutip Max Weber yang berbicara soal
“etika tanggung jawab”: <I>Dalam masyarakat seperti itu manusia
diperlakukan sebagai sesuatu yang lebih majemuk ketimbang sekadar hasil
sebuah rumusan. Dalam masyarakat seperti itu manusia diakui justru sebagai
sesuatu yang tak terumuskan…<I> (halaman 1493).
Jika mau, kutipan-kutipan masih bisa dicari dan ditemukan dengan berbagai
varian dalam buku yang memang enak dipegang (untuk dibaca) itu. Tetapi
dari tiga kutipan diatas, sekurangnya dapat diambil kesan
“perjuangan” GM membela keunikan itu sudah dimulai sejak lama.
Orang juga bisa memberikan apresiasi tinggi atas sikap itu, utamanya
melihat apa yang dialami bangsa ini dalam 30 tahun terakhir—rentang
seluruh tulisan dalam buku ini dibuat. Menarik untuk menunggu, apakah dalam
era yang kian berubah ke depan nanti, tulisan GM masih
“memperjuangkan” hal yang sama.
Barangkali, penegasan akan perjuangan GM di atas memang salah satu target
yang secara tak sengaja, –dan mungkin sebenarnya tidak dimaksudkan
sebelumnya– berhasil dicapai buku ini. Dengan demikian, sebenarnya
menjadi menarik untuk mengira-ira: demi memperjuangkan hal macam itukah GM
memilih menjadi penulis? Jelas, ini bukan pertanyaan mengada-ada. Toh,
buku itu sendiri konon diikhtiarkan untuk menyambut 60 tahun usia GM. Dan,
diskusi yang diadakan saat peluncuran bukunya sendiri pun dimaksudkan
untuk, seperti tertulis dalam tema, “Menimbang Pikiran Goenawan
Mohamad Selama 40 Tahun sebagai Penulis”.
Ada tanda-tanda yang bisa dipakai untuk menjawab rasa penasaran itu dengan
menyimak esainya berjudul “Setelah Tempo Tidak Ada Lagi”
(halaman 1123). Dinyatakannya, <I>…Menulis memang bisa menyenangkan.
Tetapi seperti halnya membentuk sebuah cawan yang tidak sekedar praktis
untuk dipakai, menulis pada dasarnya sebuah pekerjaaan yang resah<I> .
Dalam tertanggal 5 Juni 1995 ini, terungkap, paska pembreidelan Majalah
Tempo, sebenarnya GM ingin menulis “yang lain”, yakni tulisan
yang tak berkaitan dengan hal-hal yang hangat dan menjengkelkan. Tetapi
ternyata ia tidak mampu melakukannya, justru, karena, menurutnya, Tempo
telah menjadi “ikon” yang menandai sebuah pergulatan untuk
hidup dan bersuara (halaman1124). Alias, ada “sesuatu” di masa
lalu yang membuatnya untuk terus menulis esai-esai pendek itu tanpa henti.
Kita tak pernah tahu, memang demikiankah alasan sejati dari GM, karena
memang belum pernah diungkapkannya dihadapan publik. Boris Pasternak, konon
memilih menjadi penulis untuk memenuhi rasa berhutang terhadap sesama
pengarang sezamannya. Dan, ketika Dr. Zhivago berhasil diselesaikannya,
diperoleh kesan, penulis besar Rusia yang terampil bermain musik, ahli
dibidang hukum dan filsafat , tetapi kemudian memilih menjadi pekerja
pabrik itu, seperti terpanggil untuk menulis semacam pernyataan tentang
nilai-nilai masa lampau bangsanya yang ia bayangkan bakal berkembang
kembali. (“Writers at Work”, <I>The Paris Review<I>,
terjemahan Vita Brevis).
GM tentu bukan Boris Pasternak. Tetapi membaca “Kata, Waktu”,
adalah seperti menyimak pernyataan GM tentang banyak hal di lintasan
sejarah. Judul “Kata,Waktu” sendiri, meskipun tak pernah
dijelaskan alasan pemilihannya oleh penerbit, editor, maupun GM, seperti
menyarankan ke arah pengertian tersebut. Sesunguhnyalah, dengan bekal cara
pandang ini, saat menyimak “Kata,Waktu”, kita justru bisa
bersetuju, menolak, bahkan melakukan penjelajahan lebih jauh atas
gagasan/pendapat GM yang tersimpan dalam esai-esai-nya.
Ruang itu rasanya terbuka lebar. Sebab, seperti dikatakan banyak kalangan,
terhadap berbagai peristiwa atau pikiran yang tengah ditulisnya, GM seperti
bergumam saja. Dan, salah satu cara yang digemarinya adalah dengan
memandangnya dari sudut para pemikir-pemikir atau tokoh-tokoh lain (riil
maupun karangan). Tak heran, dalam sebuah esai pendek, bisa muncul nama-
nama macam Haji Misbach, Maxim Gorki, Sam Pek Eng Tay, Marx, dan Weber.
Atau juga Dhamarwulan, Mozart, Pamina, dan Remmy Silado, dalam esainya yang
lain
Dengan cara pandang seperti itu pulalah, editor buku setebal 1513 halaman
plus XXV halaman pengantar ini, Nirwan Ahmad Arsuka, menyampaikan
kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukan pembaca atas tulisan GM.
Tulisnya, …<I>Ia memberi kita pintu untuk masuk mengenal sendiri
pemikiran itu lebih intim, sekaligus untuk kelak menyadari dengan nikmat
betapa terbatas dan bisanya menyesatkannya sebuah catatan yang dibuat dari
pinggir.<I>. (halaman XXIV).
Juga, <I>…Bagi para pencari yang tak gampang puas, keterbatasan
catatan dari pinggir itu akan menyedot dan menghadiahkan suatu sensasi
intelektual yang rekah ketika kita masuk ke tengah menemukan sendiri yang
tak ditemukan Catatan Pinggir<I>.
GM memang dikenal cukup dermawan memaparkan kilasan-kilasan peristiwa besar
atau kecil, dan dermawan pula mengutipkan gagasan para pemikir/tokoh
berwibawa, macam Jacques Derrida, Umberto Eco, Michael Foucoult, Walter
Benjamin, Albert Camus, dan lain-lain. Tak hanya memaparkan, GM sekaligus
berdialog dengan gagasan itu sendiri. Tentu saja, pembaca selalu memiliki
peluang untuk masuk dalam diskusi itu atau sekadar menjadi penonton saja.
Akhirnya, dalam kerangka seperti itukah maka PDAT Tempo yang menerbitkan
kumpulan esai tersebut mengklaim bahwa buku ini memberi peluang pembaca
untuk melihat tulisan GM dalam sudut pandang yang lain? Tetapi, kita layak
khawatir, ada pembaca yang ingin mengetahui pikiran-pikiran besar secara
ringkas, namun tak pernah punya waktu membaca tulisan-tulisan
“babon” soal tersebut. Lalu diraihlah buku ini….
Hidup ini singkat, sedangkan begitu banyak kesaksian harus disampaikan.
Begitu seorang penulis pernah mengungkapkan alasannya menjadi pengarang.
Itu sebabnya, lebih dari sekedar bukti keterampilan mengolah kata-kata,
karya yang lahir dengan alibi macam itu berpretensi menjadi saksi bagi
zamannya. Dan, dengan demikian selalu pantas untuk disimak.
Kita tak pernah tahu mengapa Goenawan Mohamad (GM) memilih menjadi penulis
untuk mengisi –mungkin sebagian terbesar— dari hidupnya.
Konon, ia mulai menulis sejak berusia 11 tahun. Tetapi, apapun alasan itu,
sepertinya seluruh tulisan GM tak akan pernah menjadi sia-sia. Setidaknya
itu terasakan ketika melihat buku terakhirnya berjudul, “Kata,
Waktu” dengan judul kecil <I>Esai-esai Goenawan Mohamad 1960-2001<I>,
diluncurkan beberapa waktu lalu. Tiga cendekiawan utama Indonesia, yakni
Nurcholis Madjid, Ignas Kleden, dan Ariel Haryanto, yang berbicara dalam
acara peluncuran, adalah semacam paraf dari pernyataan di atas.
Buku “Kata, Waktu” menghimpun sekitar 650 esai pendek GM selama
rentang waktu 40 tahun terakhir. Tentu saja, banyak hal dibicarakan GM
tentang hal-hal (pikiran dan peristiwa) besar ataupun sebaliknya. Tetapi
seperti disepakati banyak kalangan, salah satu perhatian utama GM yang
berpeluang menjadikan buku ini memiliki benang merah, adalah pembelaannya
terhadap keunikan individu atau suatu kaum.
GM tak pernah terkekang oleh bingkai tulisan untuk membisikkan, bergumam,
maupun ketika harus berteriak melawan arus-arus penyeragaman yang datang
dari mana saja (tak hanya dari kekuasaan, tapi juga pikiran-pikiran
kearahnya). “Perlawanan-nya” itu bisa dipungut dari tulisan-
tulisannya yang dibingkai dalam masalah kesastraan, sosial, politik, agama,
atau apapun. Dan, itu sudah dilakukannya sejak lama.
“…<I>Salah satu kebebasan pertama seorang pencipta adalah
kebebasannya dari sikap kolektif yang mengikat diri, dan bahaya orang yang
terlalu memperhatikan “rumus-rumus” umum yang dikenakan di atas
kesadaran keseorangannya ialah terbentuknya diri dalam lindungan
kolektivisme<I>…” (Puisi Yang Berpijak Di Bumi Sendiri, halaman
2). Esai ini ditulisnya pada 27 April 1960.
Pada esai berjudul “O, Absyalom” (tertanggal 11 Oktober 1986)
secara empatik GM menulis pembangkangan diam-diam Putra Mahkota Alexis yang
menolak menjadi seperti apa yang diinginkan Tsar Rusia, Peter yang Agung,
ayahnya sendiri. GM mengulangi kutipan Robert Massie (penulis tentang
Peter) mengenai Alexis: “Sungguh sia-sia ayahnya menyuruhnya mengurus
soal-soal militer, karena lebih enak baginya memegang sebuah tasbih
ketimbang sebuah pistol ditangan”. (halaman 657)
Esai terakhir yang dimuat dalam buku ini (tertanggal 24 Juni 2001) adalah
gumaman GM soal buruh yang tak mungkin dipandang –bahkan—
sebatas sebagai “proletareat” belaka. Buruh, tulisnya, bukanlah
hantu yang membayang-bayangi zaman. Bukan pula dewa yang melintasi waktu.
Untuk memberi garis bawah, GM mengutip Max Weber yang berbicara soal
“etika tanggung jawab”: <I>Dalam masyarakat seperti itu manusia
diperlakukan sebagai sesuatu yang lebih majemuk ketimbang sekadar hasil
sebuah rumusan. Dalam masyarakat seperti itu manusia diakui justru sebagai
sesuatu yang tak terumuskan…<I> (halaman 1493).
Jika mau, kutipan-kutipan masih bisa dicari dan ditemukan dengan berbagai
varian dalam buku yang memang enak dipegang (untuk dibaca) itu. Tetapi
dari tiga kutipan diatas, sekurangnya dapat diambil kesan
“perjuangan” GM membela keunikan itu sudah dimulai sejak lama.
Orang juga bisa memberikan apresiasi tinggi atas sikap itu, utamanya
melihat apa yang dialami bangsa ini dalam 30 tahun terakhir—rentang
seluruh tulisan dalam buku ini dibuat. Menarik untuk menunggu, apakah dalam
era yang kian berubah ke depan nanti, tulisan GM masih
“memperjuangkan” hal yang sama.
Barangkali, penegasan akan perjuangan GM di atas memang salah satu target
yang secara tak sengaja, –dan mungkin sebenarnya tidak dimaksudkan
sebelumnya– berhasil dicapai buku ini. Dengan demikian, sebenarnya
menjadi menarik untuk mengira-ira: demi memperjuangkan hal macam itukah GM
memilih menjadi penulis? Jelas, ini bukan pertanyaan mengada-ada. Toh,
buku itu sendiri konon diikhtiarkan untuk menyambut 60 tahun usia GM. Dan,
diskusi yang diadakan saat peluncuran bukunya sendiri pun dimaksudkan
untuk, seperti tertulis dalam tema, “Menimbang Pikiran Goenawan
Mohamad Selama 40 Tahun sebagai Penulis”.
Ada tanda-tanda yang bisa dipakai untuk menjawab rasa penasaran itu dengan
menyimak esainya berjudul “Setelah Tempo Tidak Ada Lagi”
(halaman 1123). Dinyatakannya, <I>…Menulis memang bisa menyenangkan.
Tetapi seperti halnya membentuk sebuah cawan yang tidak sekedar praktis
untuk dipakai, menulis pada dasarnya sebuah pekerjaaan yang resah<I> .
Dalam tertanggal 5 Juni 1995 ini, terungkap, paska pembreidelan Majalah
Tempo, sebenarnya GM ingin menulis “yang lain”, yakni tulisan
yang tak berkaitan dengan hal-hal yang hangat dan menjengkelkan. Tetapi
ternyata ia tidak mampu melakukannya, justru, karena, menurutnya, Tempo
telah menjadi “ikon” yang menandai sebuah pergulatan untuk
hidup dan bersuara (halaman1124). Alias, ada “sesuatu” di masa
lalu yang membuatnya untuk terus menulis esai-esai pendek itu tanpa henti.
Kita tak pernah tahu, memang demikiankah alasan sejati dari GM, karena
memang belum pernah diungkapkannya dihadapan publik. Boris Pasternak, konon
memilih menjadi penulis untuk memenuhi rasa berhutang terhadap sesama
pengarang sezamannya. Dan, ketika Dr. Zhivago berhasil diselesaikannya,
diperoleh kesan, penulis besar Rusia yang terampil bermain musik, ahli
dibidang hukum dan filsafat , tetapi kemudian memilih menjadi pekerja
pabrik itu, seperti terpanggil untuk menulis semacam pernyataan tentang
nilai-nilai masa lampau bangsanya yang ia bayangkan bakal berkembang
kembali. (“Writers at Work”, <I>The Paris Review<I>,
terjemahan Vita Brevis).
GM tentu bukan Boris Pasternak. Tetapi membaca “Kata, Waktu”,
adalah seperti menyimak pernyataan GM tentang banyak hal di lintasan
sejarah. Judul “Kata,Waktu” sendiri, meskipun tak pernah
dijelaskan alasan pemilihannya oleh penerbit, editor, maupun GM, seperti
menyarankan ke arah pengertian tersebut. Sesunguhnyalah, dengan bekal cara
pandang ini, saat menyimak “Kata,Waktu”, kita justru bisa
bersetuju, menolak, bahkan melakukan penjelajahan lebih jauh atas
gagasan/pendapat GM yang tersimpan dalam esai-esai-nya.
Ruang itu rasanya terbuka lebar. Sebab, seperti dikatakan banyak kalangan,
terhadap berbagai peristiwa atau pikiran yang tengah ditulisnya, GM seperti
bergumam saja. Dan, salah satu cara yang digemarinya adalah dengan
memandangnya dari sudut para pemikir-pemikir atau tokoh-tokoh lain (riil
maupun karangan). Tak heran, dalam sebuah esai pendek, bisa muncul nama-
nama macam Haji Misbach, Maxim Gorki, Sam Pek Eng Tay, Marx, dan Weber.
Atau juga Dhamarwulan, Mozart, Pamina, dan Remmy Silado, dalam esainya yang
lain
Dengan cara pandang seperti itu pulalah, editor buku setebal 1513 halaman
plus XXV halaman pengantar ini, Nirwan Ahmad Arsuka, menyampaikan
kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukan pembaca atas tulisan GM.
Tulisnya, …<I>Ia memberi kita pintu untuk masuk mengenal sendiri
pemikiran itu lebih intim, sekaligus untuk kelak menyadari dengan nikmat
betapa terbatas dan bisanya menyesatkannya sebuah catatan yang dibuat dari
pinggir.<I>. (halaman XXIV).
Juga, <I>…Bagi para pencari yang tak gampang puas, keterbatasan
catatan dari pinggir itu akan menyedot dan menghadiahkan suatu sensasi
intelektual yang rekah ketika kita masuk ke tengah menemukan sendiri yang
tak ditemukan Catatan Pinggir<I>.
GM memang dikenal cukup dermawan memaparkan kilasan-kilasan peristiwa besar
atau kecil, dan dermawan pula mengutipkan gagasan para pemikir/tokoh
berwibawa, macam Jacques Derrida, Umberto Eco, Michael Foucoult, Walter
Benjamin, Albert Camus, dan lain-lain. Tak hanya memaparkan, GM sekaligus
berdialog dengan gagasan itu sendiri. Tentu saja, pembaca selalu memiliki
peluang untuk masuk dalam diskusi itu atau sekadar menjadi penonton saja.
Akhirnya, dalam kerangka seperti itukah maka PDAT Tempo yang menerbitkan
kumpulan esai tersebut mengklaim bahwa buku ini memberi peluang pembaca
untuk melihat tulisan GM dalam sudut pandang yang lain? Tetapi, kita layak
khawatir, ada pembaca yang ingin mengetahui pikiran-pikiran besar secara
ringkas, namun tak pernah punya waktu membaca tulisan-tulisan
“babon” soal tersebut. Lalu diraihlah buku ini….
Komentar
Posting Komentar