sastra melayu rendah
Dalam buku-buku sejarah sastra Indonesia disebutkan bahwa roman
Indonesia yang pertama adalah “Azab dan Sengsara” oleh Merari Siregar,
yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1920. Namun jauh sebelum itu,
telah terbit banyak roman yang ditulis dalam melayu tinggi seperti
diajarkan di sekolah-sekolah, atau yang dipakai standar oleh Balai
Pustaka unutk menerbitkan roman-roman mereka.
Roman-roman dalam bahasa melayu rendah ini mulai muncul sekitar tahaun 1895, ditulis oleh wartawan berkebangsaan Belanda atau orang-orang Tionghoa, dari lingkungan mana bahasa melayu rendah ini berkembang, sekitar tahun 1870 telah diterbitkan saduran-saduran cerita Cina atau roman-roman Eropa. Bahkan banyak diterbitkan syair tentang kejadian-kejadian actual zamannaya. Mnamun bentuk roman asli dalam bahasa itu baru terbit sekitar 1895, yakni dengan “Cerita Nyai Dasima” yang ditulis oleh seorang peranakan Inggris, G. Francis. Munculnya bentuk roman pendek ini tentu atas jasa perintisan lektur Tionghoa tadi. Sejak itu banyak roman asli di tulis oleh wartawan-wartawan yang berkebangsaan Belanda, Indonesia dan Tonghoa.
Jumlah karya bentuk roman dari kalangan bangsa Indonesia tidak begitu banyak disbanding dengan yang ditulis oleh pengarang-pengarang Tionghoa. Kalangan penulis Indonesia sendiri menciptkan roman-roman Melayu- rendahmereka hanya sampai tahub 1924, tetapi golongan Tionghoa sampai sesudah kemeerdekaan. Menurut penelitian Cludine Salmon, jumlah karya sastra Melayu-Rendah golongan Tionghoa inilebih dari 3000 buah, termasuk di dalamnnya roman, syair, puisi drama dan esai. Sedang sastra Melayu-Rendah golongan Indonesia hanya sekitar 10 buah saja.
Dalam antologi ringkasan roman ini hanya dimuat beberapa buah saja dari karya sastra yang berkembang secaraluar biasa ini. Sebenarnya diperlukan suatu buku sendiri unutk mengumpulkan roman-roman Melayu – Rendah dari kalangan Tionghoa ini. Buku yang demikian itu baru dikerjakan oleh Nio Joe Lan dengan judul “Satera Indonesia Tionghoa” yang dijadikan sumber utama untuk buku ini.
Usaha untuk meringkas sebanyak mungkin karya-karya satra Melayu-Rendah yang ditulis oleh para pengarang Indonesia tidak terlaksana, karena kesulitan memperoleh kesempatan untuk membaca naskah-naskah mereka yang masih dimuat di koran-koran tahun 1910-an. (*)
*Diolah oleh Tim Redaksi Galeri Buku Jakarta. Editor: Sabiq Carebesth
Roman-roman dalam bahasa melayu rendah ini mulai muncul sekitar tahaun 1895, ditulis oleh wartawan berkebangsaan Belanda atau orang-orang Tionghoa, dari lingkungan mana bahasa melayu rendah ini berkembang, sekitar tahun 1870 telah diterbitkan saduran-saduran cerita Cina atau roman-roman Eropa. Bahkan banyak diterbitkan syair tentang kejadian-kejadian actual zamannaya. Mnamun bentuk roman asli dalam bahasa itu baru terbit sekitar 1895, yakni dengan “Cerita Nyai Dasima” yang ditulis oleh seorang peranakan Inggris, G. Francis. Munculnya bentuk roman pendek ini tentu atas jasa perintisan lektur Tionghoa tadi. Sejak itu banyak roman asli di tulis oleh wartawan-wartawan yang berkebangsaan Belanda, Indonesia dan Tonghoa.
Jumlah karya bentuk roman dari kalangan bangsa Indonesia tidak begitu banyak disbanding dengan yang ditulis oleh pengarang-pengarang Tionghoa. Kalangan penulis Indonesia sendiri menciptkan roman-roman Melayu- rendahmereka hanya sampai tahub 1924, tetapi golongan Tionghoa sampai sesudah kemeerdekaan. Menurut penelitian Cludine Salmon, jumlah karya sastra Melayu-Rendah golongan Tionghoa inilebih dari 3000 buah, termasuk di dalamnnya roman, syair, puisi drama dan esai. Sedang sastra Melayu-Rendah golongan Indonesia hanya sekitar 10 buah saja.
Dalam antologi ringkasan roman ini hanya dimuat beberapa buah saja dari karya sastra yang berkembang secaraluar biasa ini. Sebenarnya diperlukan suatu buku sendiri unutk mengumpulkan roman-roman Melayu – Rendah dari kalangan Tionghoa ini. Buku yang demikian itu baru dikerjakan oleh Nio Joe Lan dengan judul “Satera Indonesia Tionghoa” yang dijadikan sumber utama untuk buku ini.
Usaha untuk meringkas sebanyak mungkin karya-karya satra Melayu-Rendah yang ditulis oleh para pengarang Indonesia tidak terlaksana, karena kesulitan memperoleh kesempatan untuk membaca naskah-naskah mereka yang masih dimuat di koran-koran tahun 1910-an. (*)
*Diolah oleh Tim Redaksi Galeri Buku Jakarta. Editor: Sabiq Carebesth
Komentar
Posting Komentar